BLOGGER TEMPLATES Funny Pictures

Jumat, 14 Maret 2014

Simbol Tanpa Arti



Revolusi ? Sungguh ! ini Cuma simbol tanpa arti
Segala kata yang terucap hanyalah sajak terpatri
Hai Kau Tikus berdasi, Ya kau! Mau siapa lagi ?
Apa kau mampu tertawa diatas luka sang penenun luka?
Sungguh ! Apa kau buta?
Lihat! Ya kau, kau yang mengaku punya nurani, siapa lagi ?
Biarkan hujan membasahi tenggorokan mereka
Jangan kau paksa kemarau datang mengantar gersang
Kau tau? Asin lidahmu kini terasa pahit
Aku tak mau lagi menelan ludah basinmu
Kau tau janjimu bagai rinai mengganti
Lalu dengan pasti datang tuk ribut kembali
Ditanah yang tak paham siapa penguasa sengketa
Kau pecundang, Ya kaulah. Mau siapa lagi ?
Dulu. Dulu sekali desaku setiap pagi masih tercium selai donat
Tapi kini, yang kucium hanyalah anyirnya lumpur di ujung jalan
Ya, kau tikus berdasi, siapa lagi ?
Sungguh hina! Dasar Bodoh ! Apa kau ? iyalah kau, siapa lagi ?
Hadapilah aku dengan cakap penjamuan
Jangan mengecoh rakyat lemah yang kau jepit
Kini aku yang akan mencekikmu sampai menjerit
Kau tau ? Pertiwi ini yang kau curangi ?
Ya, alasannya pasti. Karena kau buta dan tuli .
Ia kini telah mati dengan permainan janji

Pati, 11 Januari 2014

Menunggumu, Purnamaku


Aku menolak tanda titik pada tiap kalimatmu
Karena setelah itu,
Ya setelah itu ...
Aku ingin selalu memberi tanda tanya diujung kalimatmu
Karena aku ingin membaca arti ucapanmu. Entah.
Kau selalu membantah tangis tentang bulan yang mati
Jangan kau sesali Purnamaku,
Walau Gelap kukuh memeluk kita
Tenanglah karena aku masih mampu mengusap air mata
Meskipun dengan meraba-raba
Mungkin kau begitu ligat tak merasakannya
Namun, aku tak selalu terburu buru tuk tinggalkanmu
Karena aku menunggumu, Purnamaku
Aku tak pernah takut kau tak melihatku
Karena kau masih bisa mencium wangi tubuhku  
Tanpa tau siapa aku
Aku sadar gelap ini membuatmu acuh
Namun kabut talang yang merapat kesisi kita,
Selalu membekukan lidahku untuk bilang
Aku sangat mencintaimu, Purnamaku

Pati, 14 Februari 2014

Pertiwiku Telah Mati


Tak gersang, pula tak berprasangka
Aku tak butuh sindirian untuk Lusuhnya jalan raya di ujung kota
Memang ! Kau tau ?
Sungguh bumi ini sedang sekarat
Dasar bodoh ! sungguh pemimpi tanpa kaki
Iya satu kaki membuat bangsa ini akan terkeseok
Lihat di jalan itu. Dibawah benteng tak bertuan
Gadis berkepang itu dilahirkan
Sungguh ! penyiksaan dalam kesakitan
Apa kau tak melihat ? oh ya kau buta !
Ia merengek, meminta dalam gelas mineral di genggamnya
Menanti koin receh yang dibuang para pemurka
Tapi dengar! Dengarlah !
Dasar tuli ! Bukan ! Ia bernyanyi lewat hati
Dia tersedu dalam nada setiap ketukannya
Aku masih punya rasa walau hanya dapat meraba
Sungguh kau tau rakyat ini memelas memeluk duka
Ah, begitu kejamnya suami sang Bunda
Begitu nyaring jerit angin yang terjepit di jendela
Ya! Sang suami ini memanggil senja tuk mencekiknya
Lihat ! kau hanya mengunyah kesengsaraan rakyat dengan lahapnya
Dia tertawa dengan perut busungnya
Tak perduli ! Sungguh ! Iya kau ! siapa lagi ?
Dia hanya menikmati manisnya bunda lalu membuangnya kembali
Lihat saja anak-anaknya terlantar
Anak bangsa yang merindukan ayahnya
Mengisap tersedu dalam laparnya
Dan membiarkan Bunda mati
Oh! Seharusnya ada yang menghentikan permainan latah ini

Pati, 11 Januari 2014

Bercumbu dengan Sang Pujangga


Aku tak pernah beri tinta merah di kalenderku warna jingga
Aku tak pernah berharap pagi menggantikannya
Aku tak pernah berharap tahun menghabiskannya
Oh, sungguh Aku memang gadis yang menggila
Meneguk ludah sang Pujangga yang tersisa di atas meja
Dasar bodoh ! bukan ! karena ini cinta
Kalau saja senja mampu bicara
Pastilah sampai ke pemiliknya
Bukan ! senja bisu !
Dia hanya mampu mendengar ! dia tak bisa bicara !
Kalau saja senja itu mampu bernada
Mungkin pedih yang melarat dapat tersekat hadirnya
Bukan! Senja gagu !
Dia hanya mampu bersenandung tanpa kata
Oh pujangga, kirimkan pisau yang tajam
Agar rasa takut akan hilangmu yang mendera ini mampu ku tikam

Pati,01 Maret 2014